2 Kor 5:11-21 Kristus dasar pelayanan [14 Jun 2015]

Tulisan Paulus itu ringkas dan padat. Suatu tafsiran berhasil kalau kita mulai menangkap mengapa Paulus menulis seperti ini, dan lebih lagi kalau kita mulai menangkap suatu relevansi untuk kita. Semoga tulisan ini membantu untuk kedua-duanya.

Penggalian Teks

Dalam 2 Kor 2–7, Paulus menjelaskan pelayanannya kepada jemaat di Korintus yang diresahkan oleh pengajar-pengajar lain. Pada setiap tahap dalam penguraiannya, dia mendasarkan pelayanannya pada Kristus. Kemuliaan pelayanan di dalam Kristus ialah hati jemaat yang diubah oleh Roh Kudus (p.3). Dengan mengejar kemuliaan itu, Paulus dimampukan untuk melayani dengan integritas, terutama bahwa pelayanannya mengikuti pola Kristus, yaitu kuasa kebangkitan yang dilihat justru di tengah kesusahan (p.4). Hal itu dilakukan dalam pengharapan akan kebangkitan, termasuk bahwa dia dan orang-orang yang kepadanya dia memberitakan Injil harus menghadap takhta pengadilan Kristus (5:10). Perikop kita menyoroti karya Kristus yang mendamaikan, sebagai dasar untuk mendorong jemaat didamaikan dengan Allah. Paulus kembali menekankan penderitaannya sebagai bukti kesejatian pelayananya (6:1–10), sebelum dia memohon mereka berdamai dengan dia, dan membantu proses itu dengan merefleksikan peristiwa yang memicu masalah di antara mereka (6:11–7:16).

Dalam aa.11–12 Paulus mengingatkan mereka akan tujuannya dalam menulis surat, yaitu supaya mereka mengerti pelayanannya yang tampak kurang keren, dan mulai memegahkannya karena memahami dasarnya dalam Kristus. Dia digerakkan oleh kepentingan Allah (a.13, “demi Allah”) dan kepentingan jemaat (“demi kamu”). Kepentingan Allah membuat Paulus bertindak di luar batas, termasuk hal-hal yang sama sekali tidak keren seperti siap menderita dan dihina sama seperti Kristus. Tetapi Paulus membatasi tingkah lakunya supaya pelayanannya menjadi bermanfaat bagi jemaat.

Ayat-ayat berikut menjelaskan kedua segi itu (“dalam pelayanan Allah”/“untuk kepentingan kamu”). Kedua motivasi itu diringkas sebagai “kasih Kristus” yang dilihat dalam kematian-Nya (14). Frase itu bisa merujuk pada kasih Paulus kepada Kristus yang karya-Nya begitu mulia: oleh karena Paulus asyik dengan Kristus maka dia melayani Allah. Frase itu juga bisa merujuk pada kasih Kristus bagi manusia dalam kematian-Nya. Yang disoroti di sini bukan kerelaan Kristus untuk menderita, melainkan hasilnya. Jika kita membandingkan aa.14–15 di sini dengan Rom 6:1–10 atau Ef 2:4–10, Paulus melihat bahwa semua orang percaya ada di dalam Kristus, sehingga kita ikut serta dalam kematian-Nya dan kebangkitan-Nya. Oleh karena itu, kita telah mati terhadap dosa sehingga kita dimungkinkan untuk hidup bagi Kristus (15).

Pemahaman itu telah membawa Paulus kepada revolusi dalam cara dia melihat sesama manusia (16). Setiap orang yang ada di dalam Kristus adalah ciptaan baru (17). Dengan kata lain, hidup bagi Kristus yang dimungkinkan oleh kematian-Nya adalah partisipasi dalam rencana Allah akan pembaruan dunia yang dirintis oleh kebangkitan Kristus. Kita bisa melihat bahwa cakrawala Paulus luas sekali, dan kerangka itu yang menguasai imajinasinya sehingga dia begitu giat bagi Kristus.

Dalam aa.18–21 dia bertahap-tahap menjelaskan inti dari proses pembaruan itu, yaitu pendamaian manusia dengan Allah. Kristus telah menjadi perantara pendamaian itu, dan Paulus telah dipercayakan dengan pelayanan pendamaian itu (18). Di dalam Kristus, Allah telah membereskan apa yang menjadi halangan dari pihak Allah, yaitu pelanggaran kita (19a). Hal itu adalah sesuatu yang perlu diberitakan (19b), supaya manusia berdosa memahami bahwa kemungkinan untuk pendamaian itu ada, dan menerima ajakan yang berasal dari Allah sendiri untuk melepaskan halangan di dalam diri mereka untuk didamaikan dengan Allah (20). Akhirnya, Paulus menjelaskan bagaimana pelanggaran kita tidak diperhitungkan: Kristus menjadi dosa dengan menanggung dosa kita sehingga dosa kita dihukum di dalam-Nya pada salib (21a). Oleh karena itu, kita dibebaskan dari hukuman Allah; kita diterima Allah sebagai orang-orang benar, sebagai bagian dari solusi Allah. Semuanya itu terjadi “di dalam Kristus”, karena kita mati dan bangkit bersama dengan Dia oleh iman, dan kita hidup bagi Dia.

Harapan Paulus bahwa jemaat di Korintus menerima pendamaian dari Allah, sehingga menilai pelayanan Paulus menurut ukuran Kristus, bukan menurut ukuran manusia. Dengan demikian, status mereka sebagai ciptaan baru akan makin terwujud.

Maksud bagi Pembaca

Kristus yang mati dan bangkit adalah dasar pelayanan dan perubahan di dalam jemaat. Aa.11–13 merupakan tantangan Paulus bagi jemaat: pelayan seperti apa yang akan mereka banggakan? Aa.14–17 menjelaskan kasih Kristus yang melalui kematian dan kebangkitan-Nya membuat kita ciptaan baru, sehingga kita menilai orang sama seperti Kristus: mampu melihat kemuliaan di dalam Mesias yang disalibkan; mampu melihat ciptaan baru di dalam manusia yang bobrok. Aa.18–21 merupakan implikasi: pelayanan yang memberitakan pendamaian mengajak semua orang untuk memberi diri didamaikan dengan Allah.

Makna

Kata “mitos” dipakai untuk berbicara tentang kisah agung yang mendasari cara hidup sebuah masyarakat. Orang Toraja tempo dulu diarahkan dalam kehidupan sehari-hari oleh tujuan untuk membawa hormat bagi keluarga dengan upacara mati yang baik. Dengan demikian, mereka bisa menjadi leluhur ilahi yang membawa berkat bagi keturunannya. Oleh karena itu, mereka akan rajin dengan tuntutan adat, menjaga keharmonisan, dan lain sebagainya. Ketika mitos itu pudar, bawa-membawa hewan, mengalah, dan hal-hal yang lain yang memelihara relasi itu direduksi menjadi hitung-menghitung keuntungan pribadi.

Gereja modern itu seringkali lemah karena Injil tidak menjadi “mitos” bagi anggotanya. Bagi Paulus, kebangkitan Kristus yang dipahami dalam terang firman Allah (yakni PL) menyatakan rencana Allah bagi dunia. PL menyatakan bahwa Allah berkerja untuk memperbaharui dunia melalui keturunan Abraham. Dalam Kristus, keturunan itu dibuka bagi semua orang yang percaya kepada Kristus. Makanya, siapa yang ada di dalam Kristus itu adalah ciptaan baru, bagian dari masa depan dunia dalam rencana Allah. Injil adalah berita tentang Kristus, tetapi mengandaikan Kisah Agung Alkitab dari penciptaan sampai pada dunia baru. Inti masalah yang harus diatasi dalam Kisah Agung itu dinyatakan dalam PL sebagai pelanggaran yang memisahkan kita dari Allah. Dalam Kristus, pelanggaran itu tidak diperhitungkan lagi, sehingga kita dapat diterima oleh Allah, dan diajak untuk menerima Allah. Kerangka itulah yang telah kita lihat dalam perikop ini (dilengkapi sedikit dari konteks lebih luas), dan yang menggerakkan Paulus.

Jika Injil itu tidak menjadi mitos yang mengarahkan anggota jemaat, maka agama Kristen menjadi kerdil. Kebaikan Allah direduksi menjadi keprihatinan ilahi tentang saya—yang penting bagi Allah ialah bahwa saya sehat, saya berulang tahun, saya lulus ujian, dsb. Gereja seperti itu tetap menilai orang menurut ukuran manusia, bukan ukuran ciptaan baru. Majelis menyenangkan jemaat, bukan Allah; jemaat tidak berminat untuk bermisi; cekcok merajalela karena tidak ada tujuan bersama—setiap anggota punya tujuan masing-masing, yaitu dirinya sendiri.

Paulus menghadapi gejela-gejala seperti itu dalam jemaat di Korintus dengan mengingatkan mereka tentang karya Kristus. Dia menekankan pendamaian dengan Allah. Pendamaian menyangkut dua pihak. Yang pertama ialah Allah, yang menjauh dari dosa. Orang-orang yang sadar akan hal itu merasa tidak layak di hadapan Allah, tetapi Injil menyatakan bahwa pelanggaran kita tidak diperhitungkan lagi, bahwa Allah siap menerima kita karena Kristus! Bukan hanya itu, Allah siap untuk menciptakan kita kembali di dalam Kristus, membentuk kita perlahan-lahan menjadi manusia baru, yang mampu hidup layak bagi Dia yang mati dan bangkit untuk kita. Kita menjadi bagian dari rencana Allah yang jauh lebih mulia dari apa yang ditawarkan dunia, sehingga kita tidak lagi terpukau oleh orang yang kaya, berkedudukan, atau sukses secara duniawi.

Pihak kedua dalam pendamaian itu adalah manusia. Dalam a.20b, “berilah dirimu didamaikan” sebenarnya adalah bentuk pasif, “Didamaikanlah”. Paulus tidak mengatakan, “damaikanlah Allah dengan dirimu”, seakan-akan persembahan atau amal dapat melunakkan hati Allah. Allah yang berinisiatif mendamaikan kita, dan kita tinggal melepaskan kendala untuk menerima pendamaian itu. Satu kendala ialah rasa dihakimi oleh Allah karena kebiasaan buruk yang tidak mau ditinggalkan, yang bahkan bisa muncul dalam bentuk kemarahan kepada Allah, atau kepada manusia yang mengungkitnya. Dan memang, didamaikan itu menyiratkan bahwa saya menerima: penilaian Allah tentang apa yang baik dan benar; bahwa saya adalah pelanggar yang layak dihukum; dan bahwa saya tidak berdaya untuk memberbaiki diri sendiri dan hanya bisa mengandalkan kematian Kristus. Satu kendala lagi ialah rasa kecewa karena suatu pengalaman pahit yang diizinkan Allah terjadi pada diri saya. Didamaikan itu berarti bahwa saya menerima kebangkitan Kristus sebagai pengharapan yang sejati dalam kekecewaan saya. Jadi, memberi diri didamaikan adalah satu cara untuk menjelaskan pertobatan. Pertobatan bukan sekadar bahwa beberapa kebiasaan buruk ditinggalkan, tetapi bahwa orientasi hidup saya berubah total karena kematian dan kebangkitan Kristus menjadi pokok dalam imajinasi saya. Hal itu tidak terjadi seketika; menjadi ciptaan baru adalah status dalam Kristus yang berangsur-angsur berwujud dalam kehidupan kita, dan kendala-kendala itu harus terus-menerus dilawan dengan kasih Kristus. Tetapi, ketika proses itu berjalan di dalam jemaat, mitos Injil mulai menentukan etosnya.

Pos ini dipublikasikan di 2 Korintus. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.