1 Yoh 5:1-5 Iman yang menang dan mengasihi [5 Mei 2024] Paskah VI

Penggalian Teks

Surat sebelum perikop kita menegaskan saling mengasihi secara konkret sebagai ciri utama anak-anak Allah yang lahir dari Allah dan dibentuk oleh kasih Allah yang dinyatakan dengan pengutusan Yesus Anak Allah sebagai pendamaian. Inti itu dikaitkan dengan pengampunan oleh darah Kristus (1:7-2:2), pengenalan akan Allah dalam ketaatan (2:3-11), dan kemenangan atas kejahatan yang mencirikan dunia yang dikendalikan oleh nafsu dan kesombongan tetapi sedang berlalu (2:12-17). Di balik dunia dan keluarga Allah ada dua macam roh, Roh kebenaran yang diberikan Allah, dan roh-roh yang menolak Yesus (3:24-4:6). Jika hidup dalam kasih adalah hal pokok, hidup itu harus dijaga dari berbagai ancaman. Ada pokok yang hanya disinggung dalam pp.1-4, yaitu iman/kepercayaan. Kepercayaan diangkat sebagai salah satu dari dua perintah inti Allah, bersama dengan saling mengasihi (3:23). Kepercayaan itu adalah pada “nama Yesus Kristus, Anak-Nya”, yaitu menempatkan Yesus sebagai otoritas dan identitas kita. Kemudian, kasih Allah kepada kita di dalam Yesus adalah hal yang kita kenal dan percayai (4:16). Dalam uraian selanjutnya, mengasihi Allah dan mengasihi saudara dikaitkan dengan erat, baik dalam negasinya (membenci saudara yang kelihatan menafikan klaim untuk mengasihi Allah yang tidak kelihatan, 4:20) maupun sebagai perintah (4:21).

Perikop kita melanjutkan uraian itu berkaitan dengan kepercayaan. Kasih kepada Allah dan saudara berkaitan erat justru karena saudara lahir dari Allah. Kelahiran yang tidak kelihatan itu dikenali dari kepercayaan kepada Yesus sebagai Mesias (1). Pada saat yang sama, kasih yang sejati kepada saudara harus muncul dari kasih kepada Allah yang ditandai dengan ketaatan (2). Dari satu segi, hal itu terasa kurang substantif, karena kedua perintah utama adalah percaya dan mengasihi saudara. Namun, 2:15-17 sudah menguraikan ketaatan lebih jauh, yaitu dengan menolak nafsu, incaran, dan kesombongan dunia. Nas itu juga memperjelas mengapa kasih kepada Allah begitu erat kaitannya dengan ketaatan (3a), karena secara garis besar ada dua pola hidup untuk dituruti yang bertentangan.

Ide baru yang muncul di sini ialah bahwa perintah-perintah itu bukan beban yang berat (3b). Kata “berat” (barus) dipakai untuk, misalnya, sistem peraturan yang tuntutannya menjadi beban. Bebannya terasa sejauh mana kepentingan sistem berlawanan dengan kepentingan kita. Jadi, artinya bukan bahwa melawan nafsu, incaran, dan kesombongan dunia itu mudah, melainkan bahwa melawan dunia dianggap menguntungkan dan memungkinkan. Kemenangan itu memungkinkan karena lahir dari Allah, atau dengan kata lain, iman kepada Yesus Sang Anak Allah sudah mengandung kemenangan atas dunia (4-5). Oleh iman, semua penopang hidup dalam persekutuan dengan Allah yang diuraikan di atas menjadi milik kita, atau dengan singkat kata, orang percaya memiliki hidup yang kekal (5:11). Daya tarik dunia dikalahkan oleh sesuatu yang jauh lebih baik, yaitu menjadi anggota keluarga Allah.

Tentang Apa dan Untuk Apa?

Allah melahirkan manusia ke dalam persekutuan kasih melalui iman kepada Yesus. Dengan mengasihi Allah di atas dunia karena iman membawa kita kepada-Nya, kita mengalahkan dunia dan dimampukan untuk mengasihi saudara.

Makna

Perikop kita menyoroti persekutuan di dalam keluarga Allah, dengan dunia yang melawan Allah sebagai ancaman. Hal itu mirip dengan ajaran Yesus kepada murid-murid-Nya dalam Yoh 15. Dalam 1 Yoh 2:2 dan Yoh 3:16, ada harapan juga untuk dunia yang tercakup dalam karya keselamatan Yesus. Kisah Para Rasul menyoroti bagaimana Injil menjangkau banyak orang, termasuk orang non-Yahudi seperti Kornelius yang juga menerima berkat Roh Kudus (Kis 10:40-48). Hal itu sesuai dengan penegasan PL bahwa Allah adalah Raja atas seluruh bumi dan sedang datang untuk membawa keadilan, sehingga alam pun bersorak-sorai (Mzm 98). Fokus dalam surat 1 Yohanes tidak meniadakan rencana Allah yang luas itu.

Cakrawala itu juga tidak mengurangi pentingnya penegasan perikop kita pada iman kepada Yesus dan kasih kepada sesama anak Allah. Jika kita tidak mampu mengasihi gambar Allah yang sedang diperbaiki dalam diri dan kelompok orang percaya (“benih Allah” dalam 1 Yoh 3:9), bagaimana kita akan mampu mengasihi gambar Allah yang masih rusak? Saling mengasihi juga berfungsi sebagai sesaksian bagi dunia, sebagai percontohan akan adanya alternatif (Yoh 13:34-35). Alam bersorak dalam Mazmur 98 kita manusia keluar dari egosentrisme dan kepentingan yang sempit.

Mengaku percaya dan mengaku mengasihi adalah hal-hal yang biasa, bahkan mungkin saja menjadi basa basi. Uraian di atas berupaya menempatkan perikop kita dalam kerangka lebih luas tentang kedua dunia itu. Percaya kepada Yesus berarti hidup dalam dunia yang diharapkan, sesuai dengan keinginan Roh dan mata yang tertuju kepada Yesus. Saling mengasihi bukan beban yang berat melainkan pencicipan dari hidup yang kekal. Baik Yesus maupun Yohanes melihatnya sebagai jalan sukacita (Yoh 15:11; 1 Yoh 1:4).

Dipublikasi di 1 Yohanes | Tag , | Meninggalkan komentar

Yoh 10:11-18 Mendengarkan Gembala yang Baik [21 Apr 2024] Paskah IV

Penggalian Teks

Perikop kita terjadi dalam bingkai kisah tentang penyembuhan orang buta dalam p.9. Orang-orang Farisi yang dituduh buta (9:41) itulah yang bingung dengan perumpamaan Yesus tentang perbedaan antara pencuri dan gembala kawanan domba (10:1-6). Mereka juga yang kembali berselisih tentang Yesus setelah perikop kita (10:19-20; bdk. 9:16). Perumpamaan Yesus itu memang tidak ada petunjuk yang jelas tentang apa yang mau dikiaskan olehnya. Hanya dari peristiwa sebelumnya kita menduga bahwa Yesus mau mengangkat cermin bagi orang-orang Farisi yang begitu menyulitkan orang buta yang menjadi melek. Yesus mulai penjelasan-Nya dengan menyatakan diri-Nya sebagai pintu. Melalui pintu itu ada padang rumput (10:9), yaitu hidup yang berkelimpahan (10:10). Pencuri tidak datang melalui pintu itu karena tujuannya adalah untuk membinasakan. Sebagian orang Farisi menolak Yesus dengan keras dan sepertinya dialamatkan di sini.

Perikop kita mulai dengan Yesus menyatakan diri-Nya sekalian sebagai gembala di dalam perumpamaan itu (11a). Di sini, perbandinganny bukan antara pencuri dan gembala melainkan antara gembala yang baik dan upahan (11-13). Berhadapan dengan ancaman terhadap domba-domba, upahan melarikan diri sehingga domba-domba terluka. Mereka tidak peduli tentang (LAI “tidak memperhatikan”) domba-domba. Yesus membuktikan kebaikan-Nya dengan memberikan nyawa-Nya. Untuk orang Farisi yang mendengar, mungkin yang ditangkap adalah kesiapan untuk mempertaruhkan nyawa-Nya, karena gembala tidak akan memilih untuk mati. Mereka diajak untuk membandingkan perlakuan mereka terhadap orang buta itu dengan perhatian dan pembelaan Yesus kepadanya. Namun, kita pembaca Injil sudah tahu bahwa Dia akan mati untuk dosa. Sungguh Dia peduli.

Kebaikan Yesus sebagai gembala menyangkut pengenalan akan dan oleh domba-domba-Nya (14). Pengenalan itu sudah diuraikan dalam perumpamaan Yesus: suara-Nya dikenali dan Dia memanggil mereka menurut nama (10:3). Hubungan itu sejajar dengan pengenalan antara Yesus dan Bapa-Nya (15a). Secara sederhana, Allah Bapa juga mengenal siapa sebenarnya Yesus (“nama”), dan Yesus mengenal dan mengikuti suara Allah. Namun, perbandingan itu mengajak kita untuk melihat suatu penawaran. Hubungan dengan Yesus dapat menjadi mesra dan mendalam sama seperti hubungan antara Yesus dan Allah Bapa. Dalam p.9 ada banyak dugaan tentang Allah oleh beberapa pihak, tetapi Yesus membawa pengenalan Allah yang langsung. Dalam rangka itu, rencana Allah tidak sekadar untuk kandang orang-orang Israel, tetapi pemberian nyawa oleh Yesus akan membuka hidup yang berkelimpahan itu bagi banyak orang yang lain sehingga menjadi satu kawanan domba. Mungkin, “domba-domba lain” dari perspektif orang Farisi termasuk orang yang mereka anggap lahir dalam dosa (9:34). Kita yang membaca Injil ini sebagai orang non-Yahudi melihat diri kita juga di dalamnya.

Kemudian, Yesus memperjelas bahwa Dia akan memberikan nyawa-Nya dan mengambil-Nya kembali (17). Hal itu terjadi dalam bingkai kasih Allah. Allah mengasihi Yesus karena karya yang membawa hidup itu dilalui dengan sukarela (18a). Allah mengasihi Yesus dengan memberikan kuasa (wewenang, exousia) bersama dengan penugasan (18b). Sikap Pilatus, pimpinan Yahudi, dan banyak hal yang lain akan menyatu sehingga Yesus dapat memilih jalan itu dan meraih keselamatan olehnya bagi domba-domba-Nya.

Respons orang-orang Yahudi berbeda-beda (10:19-20). Untuk sebagian mereka, Yesus gila saja. Sebagian yang lain menangkap bahwa mukjizat Yesus adalah tanda yang harus diperhatikan. Namun, kedua pihak tidak sampai pada menangkap apa yang dirujuk oleh Yesus. Kita yang tahu bahwa Yesus memang memberi diri-Nya disalibkan lalu bangkit yang dapat memberi respons yang semestinya.

Tentang Apa dan Untuk Apa?

Yesus adalah Gembala yang baik, yang siap mati bagi dosa untuk membawa kita ke dalam pengenalan akan kasih Allah. Dalam iman, suara Yesuslah yang kita pilih untuk didengarkan dalam kehidupan kita.

Makna

Sebagai Gembala yang baik, Yesus menawarkan hidup yang berkelimpahan (10:10), keamanan dari serigala (12), dan pengenalan akan Allah (14-15) dalam komunitas yang menjangkau semua orang (16). Keamanan tersebut dibuktikan oleh kematian dan kebangkitan Yesus, karena di dalamnya Dia mengalahkan dosa dan maut. Pengenalan itu dikembangkan dengan mendengarkan suara Yesus (16). Orang buta itu mendengarkan suara Yesus dan pergi ke kolam Siloam (9:7). Suara itu didengarkan di tengah suara-suara yang lain yang mengatakan bahwa tidak ada harapan baginya karena dia buta karena dosa. Suara itu tetap didengarkan ketimbang suara orang-orang Farisi yang mempersoalkan penyembuhan pada hari Sabat dan menuntut dia menolak Yesus.

Kemampuan untuk mendengarkan Yesus adalah ciri domba-domba-Nya, suatu implikasi dari iman kepada-Nya. Namun, selalu ada banyak suara yang lain yang kadang lebih banyak didengarkan oleh jemaat. Sebagai contoh saja, ada pola PNS yang melihat anggaran jemaat sebagai tuan dan bukan sebagai hamba. Ada pola kehormatan yang menjadikan kemajelisan sebagai kedudukan (entah saingan atau pelengkap dari kedudukan yang lain). Baik secara perorangan maupun sebagai jemaat, kita perlu belajar membedakan suara Yesus dari suara-suara yang lain.

Suara Yesus akan menuntun kepada pengenalan akan Allah. Mazmur 23 menggambarkan perjalanan itu. Pemazmur mengikuti jalan yang benar yang tidak luput dari kekelaman. Namun, akhirnya dia sampai pada rumput yang hijau, yaitu hidup mengenal Allah dalam Bait-Nya yang sekalian merupakan kemenangan yang sejati atas musuh-musuhnya. Suara Tuhan di sini bukan petunjuk yang terperinci melainkan arah, arah yang mengharapkan persekutuan dengan Tuhan di atas segala yang lain.

Ketika seseorang ditahbiskan menjadi gembala, ia tidak berhenti menjadi domba. Adalah wajar jika seorang pelayan mengangkat gambaran Yesus tentang pencuri, upahan, dan serigala sebagai cermin untuk mengukur pelayanannya sendiri. Soal upahan yang mungkin paling menggoda, di mana serigala yang ramah kepada gembala dibiarkan. Namun, pelayan memimpin jemaat sebagai contoh domba yang mendengarkan suara Yesus.

Dipublikasi di Yohanes | Tag | Meninggalkan komentar

1 Yoh 3:1-10 Daya pembaruan [14 Apr 2024] Paskah I

Penggalian Teks

Surat ini mau memberitakan Firman dan Kehidupan yang dilihat dan diraba itu untuk menguatkan persekutuan dengan dan di dalam-Nya (1:1-5). Persekutuan itu dinikmati di dalam Yesus, yang darah-Nya menyucikan kita yang hidup dalam terang (tidak menyembunyikan dosa) (1:6-2:2) dan yang pola hidup-Nya menjadi pola hidup kita (2:3-6), yakni hidup dalam kasih (2:7-11). Untuk menjaga persekutuan itu, ada jalan yang dilalui, yaitu pengampunan dosa, kemenangan atas kejahatan dalam diri, dan pengenal akan Allah (2:13-14) yang menuntun kita untuk tidak menuruti keinginan yang muncul dari dalam atau dari luar, serta tidak mencari kehormatan duniawi (2:16-17). Ayat 2:17 mengangkat konteks eskatologis (dunia yang berlalu ketimbang hidup yang kekal). Dalam “waktu yang terakhir”, jemaat perlu waspada terhadap ajaran yang mengesampingkan Kristus dan berpegang pada ajaran semula yang diteguhkan oleh “pengurapan” yang diterima (2:18-27). Sepertinya, apa maksud dari pengurapan itu akan muncul dalam perikop kita.

Perikop kita semestinya dimulai pada 2:28. Tinggal (menō) di dalam Yesus adalah kesimpulan sementara dari uraian surat tentang persekutuan di dalam Yesus, dan hal itu juga berimplikasi eskatologis, yaitu tentang “hari kedatangan-Nya” (Yunani: parousia). Bagi mereka yang hidup di dalam-Nya, hari itu disambut dengan “keberanian percaya”. Kata parrēsia itu sering berarti keterusterangan berbicara di depan umum, dan bisa juga merujuk pada keberanian di hadapan petinggi. Yesus akan datang sebagai pihak yang paling tinggi. Keberanian itu adalah kebalikan dari rasa malu yang akan melanda mereka yang mencari kehormatan di bumi berkaitan dengan pemuasan keinginan dan keangkuhan hidup. Hal itu diperjelas dalam 2:29. Memang, kita harus hidup benar sama seperti Dia (bdk. 2:6). Namun, keberanian yang dimungkinkan olehnya muncul karena kita “lahir dari pada-Nya”. Pola hidup yang tidak mendapat malu di hadapan Yesus adalah buah dari kelahiran itu. Jika pengurapan menyangkut pemahaman ajaran, kelahiran ini menyangkut hidup yang benar secara lebih luas.

Dilahirkan berarti menjadi anak-anak Allah (1). Status itu (“disebut”) adalah bukti kasih Allah Bapa yang besar. Dunia (dalam artian tadi) tidak mengenali status itu karena tidak mengenal Allah (berarti, hidupnya dikendalikan oleh ilah-ilah yang lain). Status itu membawa janji, bahwa ketika Dia datang, kita akan menjadi sama seperti Dia dalam kebenaran (2). Pengharapan itu menjadi motivasi untuk proses penyucian sekarang (3), seperti sudah dijelaskan tadi tentang pengakuan (1:6-10) dan peninggalan hal-hal duniawi (2:16). Keadaan Yesus yang sebenarnya itu di luar jangkauan kita sekarang, tetapi kesucian Yesus dapat kita tangkap sebagai tujuan untuk hidup kita. Jadi, kesempurnaan adalah pengharapan eskatologis yang dihayati dalam proses penyucian sekarang, semuanya dalam pemantauan Allah sebagai Bapa yang mengasihi kita.

Tiba-tiba ada penyamaan antara dosa dan pelanggaran hukum (anomia, kata “Allah” ditambahkan oleh LAI) (4). Di awal surat, dosa dicirikan sebagai noda untuk disucikan (1:7). Selanjutnya, hukum Allah tersirat dalam konsep perintah-Nya yang diuraikan dalam 2:4-11. Hal itu dikembangkan secara eskatologis dalam 2:18-3:3, di mana para antikristus merupakan puncak pemberontakan terhadap Kristus sementara jemaat berkembang sebagai anak-anak Allah. Jadi, ayat ini memperjelas bahwa dosa tidak dapat dipisahkan dari pelanggaran dan pemberontakan itu. Kekurangan (terutama dalam kasih) bukan hal sepele. Dosa bertentangan dengan tujuan Yesus datang (5). Pertentangan itu ditegaskan dalam a.6: berbuat dosa berarti tidak melihat Yesus (bdk. 1:1) atau mengenal-Nya (bdk. 2:3). Pernyataan itu mengejutkan, karena 1:6-10 mengandaikan suatu proses yang di dalamnya dosa belum hilang total, dan proses penyucian itu baru saja muncul dalam a.3.

Maksud dari ajaran itu adalah untuk mencegah penyesatan (7a) seperti yang menjadi ancaman dalam 2:26. Pertentangan antara dosa dan kebenaran ditegaskan dalam konteks yang tetap eskatologis: pola hidup kita bisa memiliki dua sifat, mirip dengan Yesus yang benar (7b), atau dengan Iblis yang berdosa sejak awal (8a). Yesus sebagai Anak Allah datang dengan fungsi rajani untuk menghancurkan karya Iblis itu (8b). Dengan demikian, sudah jelas bahwa penyesatan yang mau dicegah itu menyangkut penyepelean dosa yang mengandaikan pengampunan dan masa bodoh terhadap penyucian. Namun, hal itu ditanggapi bukan dengan pola hukum melainkan dengan pernyataan identitas. Sebagai anak Iblis, pola dunia dibanggakan. Sebagai anggota keluarga Allah yang Anak-Nya justru datang untuk menghancurkan karya Iblis yang dicirikan oleh dosa, dosa semestinya memalukan sekarang sama seperti kelak (2:28).

Pada saat yang sama, identitas itu membawa daya pembaruan yang memampukannya. Orang percaya memiliki “benih” sehingga “tidak dapat berbuat dosa” (9). Pernyataan ini harus tetap ditafsir dalam bingkai eskatologis dalam aa.1-3. Akan tiba waktunya di mana hal itu menjadi kenyataan yang sempurna. Untuk sementara, kata “benih” mau mengatakan bahwa persekutuan dengan Allah di dalam Yesus mengubah diri orang percaya. Benih itu dapat diartikan sebagai bagian di dalam diri kita yang akan menjadi keseluruhan kita kelak, gambar Allah yang sementara dipulihkan. Bagian itu tidak dapat berbuat dosa, dan selama kita tinggal di dalam Yesus sehingga hidup dari benih itu, kita juga tidak akan berbuat dosa, atau ketika jatuh ke dalam dosa, kita tidak akan berlanjut di dalamnya karena terang Allah akan membawa kita kepada pertobatan. Jadi, pola hidup akan membedakan keluarga Allah yang saling mengasihi dari anak-anak Iblis (10).

Uraian selanjutnya menegaskan bahwa kasih itu adalah kasih yang praktis. Perikop kita menjadi landasan untuk hal itu yang mau menegaskan baik pentingnya maupun mungkinnya hidup yang benar sebagai anak-anak Allah.

Tentang Apa dan Untuk Apa?

Kasih Allah Bapa memberi anak-anak-Nya daya pembaruan yang memampukan kita menang atas dosa. Kita dipanggil untuk menghayati status kita sebagai anak dan memihak benih Allah itu.

Makna

Satu sikap yang ditemukan di dalam jemaat tentang dosa adalah kurang percaya diri. Manusia “lemah”, kita harus “praktis”, semua melakukannya, dsb. Sikap itu dapat membuat suasana yang berbau kemunafikan yang kemudian ditanggapi (oleh pelayan atau oleh hati nurani) dengan tuntutan untuk berubah. Tuntutan itu menjadi masalah jika tidak diakarkan pada persekutuan di dalam Yesus. Yang mengubah kita adalah darah Kristus, pengurapan, kasih Allah, benih Allah. Dengan tinggal di dalam Yesus demikian, baru dosa dapat ditinggalkan.

Beranjak dari 2:12-14, mungkin bisa dikatakan bahwa proses itu bertahap, dalam artian bahwa dosa yang dicegah makin mendalam. Di awal, berita pengampunan memampukan manusia untuk menolak antikristus dan percaya kepada Kristus. Dengan tinggal di dalam Yesus, dia tidak akan murtad, walaupun hidupnya mungkin masih kacau. Kemudian, pengurapan Roh makin membawa kesadaran bahwa hal-hal yang selama ini disepelekan atau tidak diperhatikan justru merupakan dosa yang harus ditinggalkan, dan daya baru memampukan kemenangan atas dosa-dosa itu. Hasilnya adalah orang-orang yang dewasa dalam iman yang mengenal Allah. Dengan demikian, jemaat dengan semakin jelas menunjukkan ciri-ciri anak Allah ketimbang anak Iblis, suatu proses yang akan menjadi tuntas dengan kedatangan Yesus.

Proses itu terjadi dalam suasana kasih Allah sebagai Bapa, bukan suasana amarah Allah sebagai Hakim. Rasa malu karena noda dalam hidup kita dan rasa bersalah karena tidak taat diobati dengan darah Yesus. Rasa tidak berdaya diobati dengan janji daya pembaruan itu. Dengan demikian, suara-suara hati (atau jemaat) yang menghakimi dan mencemaskan ditenteramkan oleh janji-janji Allah. Suara-suara itu belum tentu salah dalam apa yang dikatakan, hanya kurang percaya.

Dipublikasi di 1 Yohanes | Tag , | Meninggalkan komentar

1 Kor 15:1-11 Mati, Bangkit, dan Disaksikan [31 Mar 2024] (Paskah)

Penggalian Teks

1 Kor 15 merupakan puncak dari uraian Paulus kepada jemaat yang terpecah dan duniawi. Paulus mulai dengan hikmat salib yang membuat mubasir semua persaingan manusia (pp.1-4), dan menunjukkan pentingnya tubuh dalam rangka kekudusan (pp.5-7, 10-11) dan kasih (pp.8-14). Sekarang dia menyoroti kebangkitan Yesus yang menjamin kebangkitan orang percaya dan melandasi kuasa Yesus di surga. Oleh karena itu, tubuh manusia memang penting, dan jerih payah orang percaya tidak sia-sia.

Dia mulai dengan menempatkan mereka sebagai orang yang identitasnya dibentuk oleh Injil yang mereka terima dari Paulus (1). Injil itu menjadi pendirian mereka sebagai jemaat. Injil itu juga sedang menyelamatkan mereka, asal tetap percaya (2). Jadi, Paulus mau mengingatkan mereka tentang dasar hidup mereka.

Isi Injil dicirikan sebagai tradisi, yaitu ajaran yang diterima oleh Paulus dan diteruskan kepada jemaat (3a). Jika jemaat suka mempertentangkan berbagai pengajar (Apolos, Kefas, Paulus), dari segi ajaran Paulus tidak berbeda. Tradisi itu mulai dengan kematian Kristus untuk dosa (3b). Kemudian, sejatinya kematian itu dibuktikan oleh penguburan-Nya, dan pada hari ketiga Dia dibangkitkan (4). Bahwa kematian dan kebangkitan Kristus itu sesuai dengan Kitab Suci tidak dijelaskan di sini, tetapi tradisi tafsir muncul di bagian lain dari PB. Petrus menafsir pengalaman Daud yang hampir mati lalu hidup (Mzm 16:8-11) sebagai nubuat tentang Mesias yang akan mengalahkan maut (Kis 2:25-31). Yesaya 53 berbicara tentang hamba Tuhan yang akan mati bagi dosa Israel lalu hidup kembali. Hamba itu mewakili Israel, sehingga nubuat tentang bangsa Israel yang akan bangkit (Yeh 37:1-14) dapat dipahami digenapi oleh Kristus. Dia mencakup pembuangan dan pemulihan Israel dalam diri-Nya. Dengan demikian, soal hari ketiga mungkin dapat dilihat dalam Hos 6:2.

Paulus kemudian mendaftar berbagai saksi kebangkitan. Jika dibandingkan dengan keempat Injil, daftarnya tidak lengkap. Paulus sepertinya mau menunjukkan wibawa keduabelas murid dalam a.6, dan adanya banyak saksi sebagai bukti bahwa hal itu sungguh terjadi (7). Penampakan kepada banyak orang itu mungkin terjadi di Galilea (bdk. Mat 28:16-20 dan perintah malaikat di Mrk 16:7).

Kemudian, Paulus berbicara tentang dirinya sendiri. Dia adalah yang terkahir untuk melihat Kristus yang bangkit (8). Hal itu diibaratkan dengan ektrōma (“anak yang lahir sebelum waktunya”, belum tentu dalam kondisi hidup). Kata itu dapat dipakai sebagai ejekan, karena sekalipun anak seperti itu hidup, ia rentan dan lemah. Paulus memeluk penghinaan itu sebagai penganiaya jemaat yang tidak hanya menjadi saksi yang terakhir, tetapi juga yang paling hina (9). Dengan demikian dia menjadi percontohan anugerah Allah, bahkan sampai mengungguli rasul-rasul yang lain dalam kerja kerasnya (10). Dalam dunia yang dibuka oleh Injil itu, soal menjadi hebat secara duniawi (seperti orang-orang di jemaat di Korintus) atau menjadi ektrōma tidak apa-apa, melainkan apa yang dikerjakan Allah di dalam mereka. Hal itu mencerminkan riwayat Kristus yang mengalamai kehinaan terdahsyat pada salib, tetapi justru dibangkitkan oleh Allah.

Dengan membandingkan dirinya dengan rasul-rasul yang lain, Paulus mau menyoroti cara bekerja anugerah Allah yang lebih pokok daripada berbagai bentuk status manusiawi. Paulus kembali menegaskan bahwa perbedaan itu bukan soal prinsip (11). Selanjutnya, Paulus menguraikan berbagai pokok tentang kebangkitan, yaitu sebagai landasan pengharapan pribadi (15:12-19), pengharapan untuk dunia (15:20-28), dan soal caranya (15:29-58).

Tentang Apa dan Untuk Apa?

Yesus yang mati itu telah bangkit dan disaksikan banyak orang. Kita diajak untuk percaya pada Injil itu dan menjadi contoh-contoh orang yang diubahkan oleh anugerah Allah itu.

Makna

Kita dengan benar merayakan kebangkitan Yesus sebagai kemenangan. Namun, kemenangan itu bukan hasil kita untuk memegahkan diri, atau menganggap kelompok kita unggul. Kemenangan itu adalah anugerah yang menawarkan hidup yang baru, seperti yang dialami Paulus. Kemenangan itu adalah atas maut sebagai akibat dari dosa-dosa kita yang untuknya Yesus mati.

Injil yang mencakup kematian dan kebangkitan Yesus itu harus dipercayai. Pesan Injil memberitahu kita hal-hal yang tidak bisa kita temukan dengan nalar sendiri. Namun, untuk kedua peristiwa sendiri, kita memiliki bukti historis yang kuat (walau pun tidak mutlak). Bahwa Yesus mati tidak kontroversial pada zaman gereja perdana sehingga tidak dipersoalkan, tetapi tentu kebangkitan lebih sulit diterima. Makanya, Paulus mencatat berbagai saksi, baik orang yang menjadi panutan bagi jemaat, maupun adanya kelompok besar yang menyaksikannya. Apakah kesaksian saksi mata cukup sebagai dasar iman? Tidak. Jika dalam hati saya yakin bahwa Tuhan itu tidak ada atau tidak peduli, bukti sekuat apa pun tidak akan menyelesaikan masalah. Paulus berbicara kepada orang yang sudah percaya, yang sudah menerima pesan Injil bahwa kedua peristiwa historis itu membuktikan kasih Allah dan menjamin masa depan dunia. Iman kita dapat diteguhkan dengan mengingat bahwa Yesus disaksikan oleh banyak orang.

Dipublikasi di 1 Korintus | Tag | Meninggalkan komentar

Ef 2:1-10 Menghidupkan orang mati [10 Mar 2024] (Pra-Paskah IV)

Penggalian Teks

Paulus membuka surat ini dengan syukur atas berkat rohani yang dilimpahkan kepada jemaat yang percaya (1:3-14) dan doa supaya terang Roh memampukan mereka untuk mengenal kuasa kebangkitan Yesus yang menempatkan-Nya di atas segala kuasa dan kekuatan demi jemaat (1:15-22). Ada perdebatan tentang makna kuasa-kuasa itu bagi orang di Efesus/Asia Kecil, tetapi entah roh/setan/kuasa gaib, kekuasaan politik, atau dosa/maut yang dialami sebagai penindas, Yesus yang bangkit itu melebihinya. Perikop kita mulai menguraikan makna itu bagi jemaat.

Yang pertama dialamatkan adalah “kamu” (1). Dalam 1:11-14, “kami” adalah yang percaya lebih dahulu, yaitu orang-orang Yahudi di Palestina, termasuk Paulus, dan “kamu” adalah jemaat mayoritas non-Yahudi di Efesus yang percaya kemudian (tafsir itu sepertinya dibuktikan pada 2:11). Gambaran selanjutnya dalam a.1 adalah pemahaman umum orang Yahudi tentang bangsa-bangsa (bdk. Rom 1:29-31). Mereka melanggar batas-batas (paraptōma) yang ditentukan Allah sehingga gagal di hadapan Allah (hamartia). Oleh karena itu, mereka disebut “mati”, suatu kiasan yang lazim untuk kerusakan moral/rohani. Dalam hal itu, mereka mengikuti pola zaman yang dikuasai oleh “penguasa kerajaan angkasa” (2). Mungkin saja gelar itu jelas bagi orang Efesus, misalnya, suatu kuasa gaib yang menjebak orang dalam ilmu gaib atau ancaman kutuk. Yang jelas, penguasa itu hanya di angkasa, jauh di bawah Yesus yang duduk di sebelah kanan Allah (1:20). Walau pun demikian, kuasanya cukup untuk menyemangati bangsa-bangsa dalam kedurhakaan mereka. Jadi, roh itu sepihak dengan Iblis dalam 6:11, dan termasuk penguasa-penguasa yang ditaklukkan dalam 1:22.

A.3 beralih ke “kami”. Orang Yahudi yang serius (seperti Paulus) memisahkan diri dari segala bentuk pemberhalaan dan pelanggaran sehingga gambaran dalam a.2 tidak berlaku bagi mereka. Namun, kata Paulus dari pengalamannya sendiri, batin mereka tetap rusak. Pola hidup dan kehendak mereka memang dikendalikan oleh kuasa gelap, tetapi dari daging. Konsep Paulus di sini bisa diringkas sebagai usaha untuk mengatasi kefanaan lepas dari Allah, entah melalui kuasa, kehormatan, atau keturunan. Walau pun caranya berbeda, hasilnya sama, yaitu dibentuk menjadi manusia yang hanya layak dimurkai. Hal ini adalah pertama kalinya murka (orgē) disebutkan, dan hal itu memperjelas maksud kata “mati” tadi, yaitu sebagai nasib yang tidak hanya naas tetapi juga hina. Allah hanya tersirat sebagai pelakunya karena fokusnya di sini adalah kondisi manusia, bukan ancaman. Pemuka agama pun tidak luput dari pengaruh dosa.

Allah yang tersirat itu menjadi topik baru di awal a.4, bukan dalam rangka murka melainkan dalam rangka rahmat. Tiga hal diucapkan sebagai keterangan sebelum sampai pada apa yang Dia lakukan (dalam susun kalimat bahasa asli). Kedua yang pertama menyangkut Allah, bahwa rahmatnya pasti lebih dari cukup, dan bahwa dasarnya adalah kasih yang besar (4). Hal ketiga mengulang a.1, bahwa kita telah mati dalam dosa (5a). Yang dilakukan ialah menghidupkan kita bersama dengan Kristus. Manusia yang selayaknya mendapat murka mendapat rahmat dan kasih. Manusia yang mati dalam dosa mendapat hidup. Hal itu adalah keselamatan yang merupakan anugerah (kharis), suatu pemberian yang sama sekali di luar jangkauan kita. Apa saja yang termasuk dalam keselamatan itu? Tentu, pengampunan terhadap pelanggaran (bdk. 1:7) dan dari ancaman murka. Ternyata keselamatan itu juga termasuk kuasa kebangkitan Yesus dan kedudukan di surga bersama dengan Dia (6). Kedudukan itu meniadakan kehinaan sebagai objek murka, dan juga menempatkan kita di atas penguasa-penguasa, termasuk roh kerajaan angkasa. Kedudukan itu terjamin kekal, karena membuktikan kelebihan kasih karunia Allah (7).

Kasih karunia itu dijelaskan lebih jauh dalam kalimat berikutnya (8-9). Keselamatan itu diterima melalui iman sebagai pemberian yang tidak berasal dari kita. Hal itu diperjelas bahwa dasarnya bukan perbuatan. Tidak ada sedikit pun di dalamnya yang menjadi kemegahan diri. Kharis (kasih karunia) adalah pemberian dari pihak atas ke pihak bawah. Adalah kerancuan kalau hamba memegahkan diri atas tuannya, lebih lagi manusia atas Allah. Namun, para hamba bisa saja bersaing dalam mencari muka dari tuannya di hadapan sesama hamba, dan itulah yang dicegah Paulus di sini. Bersama dengan Kristus kita memiliki kedudukan di surga. Masakan hal itu tidak dianggap lebih dari pujian manusia? Perbuatan yang kita lakukan pun bukan hasil kita karena dimungkinkan oleh penghidupan oleh Kristus yang membuat kita ciptaan baru yang tidak lagi rusak wataknya. Perbuatan itu juga dipersiapkan Allah. Tinggal kita berjalan di dalamnya. Jalan itu menjadi pengganti jalan zaman sekarang yang hina dan mematikan itu.

Tentang Apa dan Untuk Apa?

Di dalam Yesus, Allah menghidupkan orang mati dan mendudukkan mereka di surga. Kita berbuat baik bukan dari kelebihan kita melainkan karena diberdayakan untuk mengikuti apa yang dipersiapkan Allah bagi kita.

Makna

Bagaimana kuasa kebangkitan di 1:19 dan 2:6 itu dialami? Barangkali dengan persekutuan dengan Kristus dalam hati dan dalam persekutuan seperti digambarkan di 3:14-21 dan p.4. Pengandaian dalam perikop-perikop itu adalah kemuliaan Yesus sehingga hadirat-Nya adalah hak istimewa dan penghargaan besar. Sama halnya dengan didudukkan bersama dengan Kristus. Hal itu bisa dilihat sebagai semacam perwakilan, seperti kebanggaan orang Toraja seandainya wakilnya lolos di DPD, atau perlindungan yang diharapkan olehnya. Hal itu bisa juga dilihat sebagai kenyataan yang dilihat dengan mata iman, bahwa persekutuan dengan Kristus tidak hanya menghadirkan-Nya di dalam hati tetapi juga menghadirkan kita di surga. Bagaimana pun juga, penghayatan kebenaran itu berarti kita menghargai diri kita sendiri sebagai orang dan umat yang dikasihi.

Kasih karunia sebenarnya sama. Maksudnya bukan seperti tilang yang dibatalkan oleh pihak yang berwenang tetapi jelas tidak dikagumi. Kemuliaan Allah disebut berulang kali oleh Paulus dalam surat ini. Semuanya adalah hak istimewa yang jangan disepelekan.

Makanya, saya memikirkan tafsir dari a.2 yang tidak menyamakan saja roh kerajaan angkasa dengan Iblis yang universal, tetapi sebagai salah satu dari penguasa-penguasa dalam 1:21 yang bekerja di dalam kelompok dan budaya. Kelompok dan budaya yang condong menjadi wadah kehormatan dan martabat supaya orang dapat memegahkan diri (entah sebagai individu atau sebagai bagian dari kelompok). Roh-roh di balik setiap kelompok yang menyemangati berbagai tingkat dosa. Maksudnya bukan untuk mengecam nilai-nilai budaya yang biasanya baik-baik saja dan kadang justru mulia. Akan tetapi, nilai-nilai yang baik tidak selalu dituruti, dan bahkan dapat diatasnamakan untuk berbuat jahat. Pelanggaran terhadap nilai budaya yang baik mengungkapkan kondisi manusia sama seperti pelanggaran terhadap Taurat. Hal seperti itu mudah dikomentari mengenai tokoh adat, tetapi di dalam gereja pun, pengampunan dituntut bagi petinggi, dan hukuman dituntut bagi orang kecil. Orang yang berkorupsi merasa aman dalam ibadah, penjudi tidak. Kita tidak kagum terhadap rahmat dan kasih Allah di dalam Kristus karena terlalu asyik dengan mencari muka manusia.

Dipublikasi di Efesus | Tag | Meninggalkan komentar

1 Kor 1:18-25 Salib meniadakan hikmat manusia [3 Mar 2024] (Pra Paskah III)

Penggalian Teks

Di balik perpecahan di jemaat Kritus, Paulus melihat suatu pemahaman tentang tempat manusia di hadapan Allah yang belum diluruskan oleh salib Yesus. Mereka berkubu (Yunani eris) di sekitar tokoh-tokoh (Paulus, Apolos, Kefas, Kristus, 1:12). Kata eris merujuk pada semangat bersaing yang mewarnai seluruh kehidupan budaya Helenis (Romawi-Yunani) karena kehormatan diraih dengan mengungguli yang lain. Hal itu dinilai positif sebagai pemicu keberanian dalam perang dan perjuangan, atau ketika dermawan bersaing dalam kemurahan kepada masyarakat. Paulus telah menysukuri karunia dan kelebihan yang dimiliki anggota-anggota jemaat di Korintus (1:5), tetapi menegaskan bahwa sumber karunia itu adalah Kristus Yesus (1:6) sehingga ujung karunia itu adalah kehormatan di hadapan Kristus pada hari Tuhan (1:8). Namun, sepertinya belum ditangkap (sebagian) jemaat bahwa karunia-karunia itu semestinya menyatukan jemaat (1:10), bukan menjadi senjata dalam persaingan kelompok seperti kebiasaan dalam budaya mereka. Paulus mengakhiri nasihat itu dengan suatu provokasi: dia diutus untuk memberitakan Injil (euangglizomai) bukan dengan “hikmat perkataan” (sofia logou). Hikmat perkataan merujuk pada keterampilan berbicara, sesuatu yang dianggap membedakan orang atas dan orang rendah. Kalau Injil diberitakan sebagai pamer, atau sekadar untuk mengubah pikiran dan perasaan supaya orang bergabung dengan kubu kita, salib Kristus disia-siakan. Provokasi itu yang diuraikan selanjutnya (“sebab”, gar, di awal a.18).

Paulus mulai dengan dalil tentang logos tentang salib yang dianggap bodoh oleh “mereka yang akan binasa”, tetapi merupakan kekuatan (dunamis) Allah bagi mereka yang diselematkan (18). Tens presen untuk kedua partisip (“binasa” dan “diselamatkan”) menyoroti bahwa kedua nasib itu sementara berjalan. Penyaliban Yesus terjadi dalam sejarah dan pemberitaannya berkuasa untuk menimbulkan dua akibat (kebinasaan atau keselamatan) juga dalam sejarah. Paulus melihat di dalamnya pola kerja Allah yang dilihat pada zaman Yesaya (a.19 mengutip Yes 29:14). Nubuat Yesaya menberitakan hukuman dan keslamatan yang akan terjadi bagi Yerusalem (Yes 29:1-12). Israel yang jauh dari Allah dalam hati perlu dikejutkan (Yes 29:13-14), karena pemulihannya hanya akan terjadi lewat hukuman itu. Dengan demikian, keajaiban dalam sejarah itu meniadakan hikmat orang-orang Israel dan membongkar bagaimana hikmat itu tidaklah berkekuatan. Hikmat didasarkan pada pengalaman dan kontinuitas, tetapi tidak menjangkau kekejutan tindakan Allah yang membongkar, tidak hanya memperbaiki.

Salib berfungsi demikian untuk semua orang yang berhikmat, berkeahlian, dan berbantah-bantah berdasarkan tatanan dunia sekarang (20a). Dalam kerangka zaman sekarang, hikmat duniawi tidaklah bodoh, tetapi ia dijadikan bodoh oleh tindakan Allah dalam salib (20b). Dalam hikmat Allah, hikmat manusia tidak menjangkau pengenalan akan Dia yang menyelamatkan dari kebinasaan. Sebaliknya, Dia memilih untuk menyelamatkan orang melalui kepercayaan berkat pemberitaan Injil yang dianggap bodoh itu (21). Percaya itu jauh lebih pasif dan rendah dari berhikmat. Hikmat bisa dicapai dengan bernalar sendiri; manusia hanya dapat percaya jika Injil diberitakan.

Mengapa Injil dianggap bodoh oleh dunia ini? Paulus mengusulkan dua alasan (22-23). Alasan pertama yang dia temukan dalam orang-orang Yahudi yang dia Injili itu memahami bahwa Allah dikenal dalam karya-Nya (karena memang demikian di PL), tetapi tanda yang mereka cari tidak menjangkau Mesias yang mati dengan cara yang terhina. Alasan kedua ditemukan dalam orang-orang Yunani yang mencari hikmat. Hikmat yang dimaksud menggali kebenaran yang makin mutlak dan prinsip di balik dunia empiris ini. Sebaliknya, Injil memberitakan suatu peristiwa sejarah selama beberapa jam di tempat tertentu sebagai hal pokok untuk mengenal Yang Kekal dan Absolut itu, dan menuntut kepercayaan saja. Namun, bagi orang-orang yang mendengar dalam pemberitaan Injil suaru Allah yang memanggil mereka, yang ditemukan adalah Kristus (24). Kristus mewujudkan kekuatan (dunamis) dan hikmat Allah di dalam hidup-Nya dalam sejarah sehingga di dalam Dia kita mengenal Allah yang kekal dan absolut itu.

Kesimpulan sementara Paulus adalah bahwa apa yang bodoh dan lemah menurut dunia sekarang ini justru lebih berhikmat dan kuat daripada hikmat dan kekuatan manusia (25). Selanjtunya, Paulus memperjelas suatu implikasi tentang kedudukan sosial. Hikmat menuntut pendidikan yang hanya terjangkau oleh orang mampu sementara semua orang dapat percaya pada Injil (1:26). Ternyata, hikmat duniawi tidak lepas dari “hikmat perkataan” tadi, yaitu sebagai cara untuk memegahkan diri di hadapan manusia (1:27-29). Di dalam Yesus yang menjadi wujud nyata hikmat Allah bagi kita, kita hanya bermegah di dalam Tuhan.

Tentang Apa dan Untuk Apa?

Allah meniadakan hikmat manusia dalam peristiwa salib. Kita dipanggil untuk mengejar hikmat dan kekuatan yang sejati di dalam Kristus dengan percaya pada berita Injil.

Makna

Hikmat manusia dibangun atas pengalaman yang terbatas. Tuduhan bahwa wakil-wakil gereja tidak memahami dunia riil bisa saja benar, tetapi bisa juga mencerminkan wawasan yang belum dibekali dengan berita tentang salib Kristus. Salib Kristus membodohkan semua kubu dan kegiatan manusia yang menjadi medan pencarian hormat. Orang yang disalibkan menjadi lemah, sama sekali tidak berdaya untuk bersaing untuk kehormatan atau martabat apa-apa. Namun, salib Kristus itu menjadi cara Allah menunjukkan kuasa-Nya yang paling dahsyat dan menentukan untuk keselamatan orang-orang berdosa. Kehinaan dimasuki dan dijinakkan.

Cara Allah yang mengejutkan itu menunjukkan seberapa dangkalnya hikmat duniawi. Tentu, pola hidup yang mengejar gengsi dan duit tidak sesuai. Tetapi, pola beragama dan berpendidikan yang menganggap dirinya melampaui pola hidup itu dengan mudah dikuasai oleh keinginan untuk tampil lebih baik daripada sesama. Keinginan itu membentuk kelompok-kelompok supaya kelebihan diakui dan didukung. Alhasil, di dalam jemaat tidak ada pertumbuhan dalam kasih, tidak ada hidup yang berubah, tidak ada orang rusak yang menjadi sembuh dan orang jahat yang menjadi baik. Ketika hikmat Allah hilang, kekuatan Injil juga tidak dinikmati.

Menurut Paulus, hikmat Allah dicapai bukan dengan bernalar dan bukan melalui studi Alkitab atau ibadah melainkan dengan percaya. Dengan mengandalkan salib Kristus, kita memeluk kelemahan yang mengandalkan kekuatan Allah dan kehinaan yang memegahkan Allah saja. Dalam kerangka itu, studi Alkitab dan ibadah bermanfaat dan nalar kita memiliki dasar yang kuat. Dalam banyaknya kegiatan yang berguna di dalam pelayanan, pemberitaan Injillah yang harus tetap inti.

Dipublikasi di 1 Korintus | Tag , , | Meninggalkan komentar

Mrk 1:9-15 Bertobat karena Injil [18 Feb 2024] (Minggu Pra-Paskah I)

Penggalian Teks

Markus menulis tentang “Injil Yesus Kristus, Anak Allah” (1:1), yang bisa berarti Injil tentang Yesus Kristus dan/atau Injil dari Yesus Kristus. Kata Injil (euangglion) berarti pengumuman yang baik dan penting bagi semua. Markus mengawali uraiannya dengan Injil dari Yes 40:1-11 (kata euanggelizomai dipakai dalam Yes 40:9 LXX) yang memaparkan Injil tentang dan dari Allah, yaitu pengumuman dari Allah (melalui nabi) bahwa Dia sudah beralih dari hukuman ke pengampunan (Yes 40:2) sehingga Dia akan membawa mereka pulang dari pembuangan (Yes 40:3-11). Pengampunan Allah membuka pengharapan. Pada zaman Yohanes, Israel sudah lama kembali ke tanah Israel, tetapi mereka dijajah terus dan sementara dijajah oleh kekaisaran Romawi. Gerakan pembaruan Yohanes melihat Israel tetap dikuasi oleh dosa (Luk 3:10-14 menyoroti penyalahgunaan kuasa), dan menawarkan baptisan di sungai Yordan sebagai cara menempatkan diri dengan umat Israel yang baru yang berada di bawah pengampunan Allah. Pertobatan berarti hidup sesuai dengan identitas sebagai orang Israel, bukan sebagai orang yang berharap pada sistem kekaisaran atau yang larut dalam kecemaran.

Yesaya juga beberapa kali mengaitkan pengharapan akan pembaruan dengan figur mesianis (Kristus = Mesias) yang dikuasai oleh Roh Kudus (Yes 11:2; 61:1). Yohanes mengaitkan janji itu dengan pengharapan bahwa Roh Kudus akan tercurah atas seluruh umat (1:8 yang menyinggung Yoel 2:28-29). Mesias yang diurapi oleh Roh akan mencurahkan umat-Nya dengan Roh.

Di tengah gerakan Yohanes itu, muncullah Yesus (9). Dia tidak disebut “Kristus”, tetapi “dari Nazaret di Galilea”. Dia muncul sebagai manusia biasa dan menempatkan diri dengan gerakan pembaruan itu dengan dibaptis oleh Yohanes. Setelah dibaptis, ada penyataan dari surga (“langit terkoyak”) yang mengungkapkan siapakah Yesus sebenarnya (10). Bahwa Roh turun ke atas-Nya membuktikan bahwa Dialah yang dinantikan Yohanes itu. Bahwa Roh itu ibarat burung merpati mungkin merujuk pada merpati yang diutus Nuh dan membawa berita keselamatan (Kej 8). Kemudian, suara dari surga yang dibuka itu menempatkan Yesus sebagai Anak Allah. Suara surgawi itu memakai bahasa pelantikan raja Israel dari Mzm 2:7 (“Engkaulah Anak-Ku”), salah satu landasan konsep Mesias. Suara itu juga memakai bahasa pengutusan hamba Tuhan dari Yes 42:1 (“kepada-Mu Aku berkenan”). Mazmur 2 berbicara tentang kerajaan Israel yang berjaya atas bangsa-bangsa dengan kekerasan (Mzm 2:9). Sebaliknya, hamba Tuhan akan menegakkan hukum bagi bangsa-bangsa dengan sangat lembut (Yes 42:2-4). Ada juga bahasa dari Kej 22:2 (“Anak-Ku yang Kukasihi”) yang mengawali kisah Abraham yang harus siap mengorbankan Ishak. Siapakah Yesus ternyata bukan soal sederhana saja.

Hal itu dilihat lebih jauh ketika Roh Kudus justru mengutus/mengeluarkan Yesus ke padang gurun (12). LAI “memimpin” kurang menangkap implikasi ekballō (“melempar keluar”) bahwa Yesus dijauhkan dari keramaian di sekitar Yohanes itu. Padang gurun adalah tempat Israel diuji dan ditempa, dan keempat puluh hari Yesus di sana mengulang hal itu secara simbolis (13). Dia dicobai bukan oleh bangsa-bangsa (seperti Israel) melainkan oleh Iblis (satanas). Namun, Dia malah mewujudkan damai dengan binatang-binatang liar, seperti Nuh di bahtera (Kej 8) dan kondisi mesianis dalam Yes 11:6-8. Dia juga menikmati pertolongan surgawi, seperti Elia (1 Raj 19:5). Markus tidak memakai istilah Mesias di sini. Istilah itu berkaitan dengan kuasa politik, tetapi Yesus menunjukkan kuasa yang lebih dalam, atas dunia rohani dan alam.

Pergumulan dan kemenangan Yesus di padang gurun tidak dilakukan di depan umum. Di depan umum, Yesus melanjutkan misi Yohanes di Galilea setelah Yohanes ditangkap (14-15). Markus mencirikan berita Yesus sebagai “Injil Allah”, yaitu Injil dari Yesaya 40 tadi. Jika pelayanan Yohanes menantikan janji itu, Yesus mengumumkan bahwa waktunya sudah datang, dan Kerajaan Allah, yaitu keadaan di mana pemerintahan Allah kentara, sudah dekat. Yesus memperjelas seruan Yohanes untuk bertobat dengan mengaitkannya dengan kepercayaan pada Injil Allah. Karena Allah mengumumkan pengampunan bagi umat-Nya, maka pertobatan tidak sia-sia.

Adanya Kerajaan Allah menyiratkan pertanyaan tentang Mesias, yaitu siapakah yang mewakili Kerajaan itu di bumi. Tidak semua orang Yahudi mengharapkan mesias, dan Yesus tidak mengangkat soal itu. Namun, kita sudah diberitahu oleh Markus bahwa Yesuslah Mesias itu (1:1). Baru dalam p.8 Yesus mengangkat pertanyaan itu dengan murid-murid-Nya. Orang banyak menganggap-Nya nabi, tetapi murid-murid-Nya mulai menangkap bahwa Dia adalah Mesias. Soalnya, cara Yesus menjadi Mesias di luar dugaan. Teka-teki dari turunnya Roh Kudus dan ucapan Allah atas-Nya baru mulai diperjelas dalam kisah selanjutnya. Dia ternyata bertindak sebagai hamba Tuhan yang melawan Iblis, bukan Roma, dan membawa pemulihan, bukan kejayaan. Perlawanan terhadap Iblis berpuncak pada salib, di mana pengampunan dari Allah diteguhkan dalam pengorbanan Mesias-Nya. Pada akhir kisah Markus, sudah menjadi jelas bahwa Injil Allah tidak lain dari Injil tentang Yesus, Anak Allah.

Tentang Apa dan Untuk Apa?

Yesus adalah Mesias yang membawa pemulihan dunia oleh kuasa Roh Kudus. Ketika kita percaya pada berita pengharapan itu, kita akan berubah haluan dan siap dibawa oleh Roh ke mana saja bersama dengan Dia.

Makna

Bertobat di sini berarti pertama-tama menempatkan diri dalam pengharapan yang ditawarkan oleh Injil tentang Yesus. Yesus adalah Raja yang berkuasa sebagai hamba, yang mengalahkan musuh Allah dengan mati pada salib, yang membuka pengharapan sebagai hidup baru oleh kuasa Roh dalam kebangkitan-Nya, yang akan mendamaikan bahkan binatang liar (sesuai dengan perjanjian Nuh yang mencakup semua makhluk hidup dalam Kej 9:8-17) dan juga manusia yang kerasukan dan sakit. Makanya, Petrus menyuruh kita untuk menguduskan Kristus sebagai Tuhan (1 Pet 3:15). Jika Kristus kudus, Dialah sumber hidup yang sejati yang membongkar piciknya kuasa duniawi dan reputasi. Makanya, Petrus mengatakan bahwa tidak usah takut ketika ditanyai atau difitnah.

Lebih lagi, Petrus melihat pola yang dilalui oleh Kristus, yaitu kematian dan kebangkitan, sebagai pola yang juga akan kita lalui. Kita juga dapat dibawa ke padang gurun oleh Roh, ditempa olehnya, dan menikmati persekutuan dengan Allah. Jika disimak dari segi hasil di depan umum, Yesus tidak berbuat apa-apa selama di pandang gurun. Berada di padang gurun tidak berarti kita sudah keluar dari pimpinan Roh. Di padang gurun kita dapat bertobat lebih dalam dengan mengalami bahwa Injil tentang Yesus adalah pengharapan kita yang sejati. Minggu-minggu pra-Paskah mau menempatkan kita di padang gurun.

Untuk sebagian orang, menangkap janji Injil akan membawa perubahan besar dalam arah dan pola hidup. Karena janji itu termasuk pengampunan, pertobatan itu tidak sia-sia. Untuk orang yang sudah lama dibentuk dan diarahkan oleh janji itu, pergumulannya adalah bertahan dalam visi itu. Jika pelayanan kita berhasil di mata orang, kita tergiur oleh reputasi. Jika pelayanan kita kelihatan mandek, terasa sia-sia. Perikop ini mengingatkan kita bahwa Injil itu tentang Yesus, bukan kita.

Dipublikasi di Markus | Tag , | Meninggalkan komentar

2 Raj 2:1-12 Roh penerus [11 Feb 2024] (Transfigurasi)

Penggalian Teks

Setelah musuh bebuyutannya, raja Ahab, meninggal, ada satu keajaiban terakhir yang dilakukan Elia yang mengungkapkan bahwa raja Ahazia juga tidak setia kepada Tuhan (p.1). Tiga kali ada pasukan lima puluh orang yang dikirim kepada Elia, dan hanya pasukan yang ketiga luput dimakan habis oleh api dari surga, karena pemimpinnya merendahkan diri di hadapan Elia. Pola tiga kali itu diulang dalam perikop kita.

Perikop kita mulai dengan pernyataan bahwa Elia akan dinaikkan ke surga dalam angin badai. Elia dan Elisa berjalan bersama dari Gilgal (1b). Elisa disuruh tinggal di sana dengan alasan yang tidak jelas, tetapi menolak dengan tegas (2). Kemudian, rombongan nabi dari Betel memberitahu Elisa bahwa Elia akan diangkat ke surga, sesuatu yang sudah dia tahu (3). Hal itu diulang untuk perjalanan dari Betel ke Yerikho (4-5). Kali ketiga, dari Yerikho ke sungai Yordan, mulai ada perubahan pola. Dikatakan bahwa mereka berjalan “berdua”, mungkin untuk menegaskan bahwa Elisa tetap mengikuti Elia (6). Rombongan nabi yang datang disebut lima puluh orang, sama seperti pasukan yang datang tiga kali dalam p.1. Mereka juga sepertinya tahu apa yang akan terjadi, tetapi hanya mau menyaksikannya dari jauh (7). Tempat itu adalah tempat Israel menyeberangi sungai Yordan untuk mulai memasuki tanah perjanjian, suatu peristiwa yang menjadi penutup pengembaraan Israel sama seperti menyeberangi Laut Teberau memulainya. Kedua kali itu, Israel menyeberangi sungai seperti atas tanah yang kering (kharabah Kel 14:21; Yos 3:17); Elia melakukan hal yang sama untuk mereka berdua (8). Di seberang sungai Yordan, akhirnya Elia mengakui kepergiannya dengan menawarkan semacam warisan. Yang diminta adalah dua kali “roh”-nya (9). Hal itu dianggap sukar oleh Elia, dan untuk dikabulkan Elia harus setia sampai kesudahannya (10). Dan memang, hal itu terjadi secara tiba-tiba dan dahsyat, sambil mereka asyik berbicara. Seperti dikatakan dalam a.1, Elia diangkat ke surga dalam angin badai. Yang baru diceritakan adalah caranya, dengan kereta dan kuda-kuda berapi. Cara itu ternyata bermakna. Elisa berduka dan meratap, termasuk menyebut Elia sebagai kereta dan orang-orang berkuda dari Israel. Kereta dan orang berkuda adalah tentara paling kuat pada zaman itu. Dengan kuasa Tuhan, Elia lebih menentukan daripada tentara-tentara.

Setelah perikop kita, pemberian “dua bagian” yang diminta Elisa itu ditunjukkan. Dia kembali menyeberangi sungai sehingga nabi-nabi mengaku bahwa rohnya adalah roh Elia (2:13-15). Dia tahu bahwa mayat Elia tidak akan ditemukan (2:16-18). Dia memulihkan mata air di Yerikho (2:19-22). Kesaktiannya ditunjukkan ketika pemuda dari kota itu membalas kebaikannya dengan menghinanya dan dikutuk sehingga diserang beruang (2:23-24). Dalam kisah selanjutnya, dia sendiri menjadi perantara untuk Tuhan berperang bagi Israel dan Yehuda yang tentaranya tidak berdaya (p. 3). Kuasa dan kemuliaan sebenarnya ada pada Tuhan, bukan pada raja.

Tentang Apa dan Untuk Apa?

Tuhan menjaga kedaulatan-Nya melalui nabi-nabi yang ada di luar jenjang kuasa manusiawi. Kita diajak untuk mencari kemuliaan dan kuasa yang sejati dengan menghayati Roh Kudus yang diberikan kepada kita.

Makna

Dalam kisah traansfigurasi Yesus (Mrk 9:2-9), Elia dan Musa muncul sebagai orang yang pentingnya dalam kisah Israel ditandai dengan diangkat langsung ke surga. Mereka juga berhadapan dengan penguasa duniawi, Musa dengan Firaun dan Elia dengan raja Israel (Ahab), dan memperlihatkan kuasa Tuhan secara ajaib. Peristiwa transfigurasi memperlihatkan kemuliaan Yesus sebagai Anak Allah yang sejati. Ketika Dia mati, murid-murid-Nya berduka. Namun, setelah Dia bangkit dan naik ke surga, Dia melepaskan Roh-Nya ke atas gereja untuk melanjutkan misi-Nya. Roh Kudus membawa kuasa pemulihan yang tidak ada pada penguasa-penguasa duniawi.

Ketika gereja menjadi terpesona dengan kuasa politik, kita terancam kehilangan jatidiri kita. Tidak semua politikus sejahat Firaun dan Ahab, tetapi kuasa menjadi godaan bagi penguasa dan memancarkan kemuliaan yang semu bagi rakyatnya. Kuasa Yesus adalah kuasa untuk memulihkan, bukan memaksa. Kemuliaan Yesus membawa Dia untuk melalui kehinaan salib. Elia mendambakan kuasa seperti Elia, bukan seperti Ahab. Ketika jemaat berjalan dalam Roh Yesus, belum tentu para penguasa senang, tetepi kuasa ilahi akan bekerja.

Dipublikasi di 2 Raja-raja | Tag , | Meninggalkan komentar

Ul 18:15-20 Allah rindu berkomunikasi [28 Jan 2024]

Penggalian Teks

Kitab Ulangan terdiri atas dua khotbah Musa yang mengingatkan mereka tentang keselamatan yang telah dikerjakan (pp.1-3) dan menceritakan ulang Taurat Allah (pp.6-28), dengan suatu kesimpulan (pp.29-32). Perikop kita terdapat dalam bagian yang membahas berbagai pejabat: hakim dan petugas (16:18-17:13), raja (17:14-20), imamat (18:1-8), dan nabi (18:15-22). Di antara perikop tentang iman dan nabi terdapat larangan terhadap berbagai praktek berkaitan dengan kuasa gaib yang karenanya bangsa-bangsa Kanaan akan dihalau (18:13). Perikop kita membalas soal peramal dan petenung, dan fungsi berbagai macam sihir semestinya digenapi imamat yang memelihara berkat Tuhan.

Dalam 18:14, peramal dan petenung didengarkan; dalam a.15, nabi yang dibangkitkan Tuhanlah yang harus didengarkan. Sama seperti Musa, nabi itu harus menjadi orang Israel. Fungsinya akan melanjutkan fungsi Musa yang memecahkan masalah yang muncul ketika Israel berkumpul di depan gunung Horeb (= Sinai). Tuhan adalah Allah Israel, tetapi Tuhan itu dahsyat sehingga Israel dalam kelemahannya menjadi takut berurusan langsung dengan-Nya (16). Usul itu sepertinya mencerminkan kesadaran Israel yang tepat (17). Bahkan setelah Musa, Allah akan membangkitkan orang yang akan meneruskan firman Allah kepada mereka (18). Respons terhadap ucapan nabi itu dihitung sebagai respons terhadap Allah sendiri (19). Bahwa Allah berbicara tentang jabatan menjadi jelas dalam a.20. Bisa saja ada orang yang mengklaim sebagai nabi, tetapi palsu. Hal itu jelas untuk nubuat atas nama ilah yang lain. Hal itu juga terbukti jika apa yang mereka nubuatkan tidak jadi (18:21-22). Contoh dalam sejarah Israel selanjutnya adalah nabi-nabi yang menubuatkan damai pas sebelum Yerusalem dihancurkan.

Jadi, Allah memahami kebutuhan manusia untuk mendapat petunjuk tentang jalan yang baik dan yang akan membawa kebaikan. Taurat memberi mereka kerangka untuk hidup, tetapi nabi-nabi untuk mengarahkan umat Allah dalam kehidupanmya. Sampai nabi Samuel, hakim bisa juga berfungsi sebagai nabi, sama seperti Musa. Ketika mulai ada raja, otoritas ilahi dibagi. Raja semestinya menjadi hakim dan panglima tertinggi. Namun, karena raja biasanya melenceng dari jalan Tuhan, nabi membawa firman Allah kepada bangsa yang tidak lagi dituntun di dalamnya.

Tentang Apa dan Untuk Apa?

Allah rindu berkomunikasi dengan umat-Nya. Kita dituntut untuk memilah antara sumber yang menyampaikan firman Allah yang sejati yang harus ditaati, dan sumber yang berbicara atau kemauan sendiri atau atas nama kuasa yang lain.

Makna

Yesus muncul di Galilea sebagai orang yang memiliki kuasa dalam ajaran dan terhadap dunia gaib (Mrk 1:21-28). Di dalamnya, fungsi raja/hakim dan nabi bergabung kembali. Dia menjelaskan Taurat Allah sebagai penguraian kasih, sesuatu yang diterapkan di dalam jemaat-jemaat Paulus (1 Kor 8:1-13). Ada juga yang disebut nabi di jemaat perdana. Jika pembedaan antara Taurat Allah dengan fungsi nabi di atas tepat, khotbah semestinya ada aspek mengajarkan Taurat (ala Yesus, tentunya) dan aspek kenabian yang menerapkannya dalam konteks jemaat. Fungsi itu juga bisa muncul dalam pelayanan “kesalingan”, seperti dalam Kol 3:16.

Ada tiga kesimpulan dari uraian itu yang boleh dikatakan menjadi sumbangsih dari perikop kita. Pertama, jika pemberitaan firman tidak praktis, jemaat akan semakin rentan mencari petunjuk kepada pihak yang tidak membawa orang untuk mengandalkan Tuhan Yesus. Kedua, nasihat dari pendeta atau dari sesama perlu diuji, tetapi jika berasal dari Allah, harus ditaati. Ketiga, ada nasihat di dalam gereja yang tidak merupakan firman untuk setiap orang di dalamnya. Ada imbauan yang muncul dari keegoisan pelayan (marah-marah kalau ada yang mengantuk, misalnya). Ada juga yang dibutuhkan oleh sebagian orang, tetapi tidak merupakan perintah umum. Misalnya, pola persembahan di Gereja Toraja itu baik (persepuluhan ditambah persembahan sukarela), tetapi denominasi (atau individu) yang memakai pola yang lain tidak berdosa.

Bahwa firman Allah merupakan perintah jangan dibawa ke arah hukum positif. Allah rindu untuk berkomunikasi dengan umat-Nya dan perintah-Nya layak ditaati karena hikmat-Nya jauh melebihi hikmat kita. Dia juga menyesuaikan komunikasi-Nya dengan kemampuan kita. Cara gereja memaparkan firman-Nya tidak sama di semua tempat, tetapi akan diterima baik oleh Tuhan selama firman-Nya yang disampaikan di dalamnya (a.17).

Dipublikasi di Ulangan | Tag | Meninggalkan komentar

Kej 1:1-5 Membentuk samudara raya [7 Jan 2024] (Baptisan Yesus)

Penggalian Teks

Nas kita mulai dengan Allah sebagai Pencipta segala sesuatu. Ringkasan atau topik dalam a.1 kemudian dikisahkan dengan pola bahasa narasi (waw-konsekutif) mulai a.3. A.2 merupakan latar dari kisah itu, kondisi dunia yang di dalamnya penciptaan dikerjakan. Terjemahan “belum berbentuk” (tohu) dan “kosong” (vohu) mencirikan jagad raya yang di dalamnya hanya ada samudera raya. Hari 1-3 akan membentuk waktu (dengan penciptaan terang) dan ruang (dengan penciptaan cakrawala dan daratan); hari 4-6 akan mengisinya. Kata ruakh elohim diterjemahkan “Roh Allah”, tetapi ada paling sedikit dua alternatif, “angin dari Allah” atau “angin yang dahsyat”. Angin membuat permukaan air tidak tenang. Dalam konteks Kejadian 1, apa yang melayang-layang itu merupakan daya kerja yang kuat di luar samudera raya yang membuka peluang untuk kondisi yang murni seragam itu menjadi lain. Dari perspektif pasca-kebangkitan Yesus dan pencurahan Roh Kudus, daya itu diperjelas sebagai Roh Kudus.

Hari pertama (3-5) memulai pola yang dilihat dalam keenam hari, yaitu bahwa Allah berfirman, dan firman itu jadi. Terang merupakan sesuatu yang baru, yang belum ada dalam a.2. Kemudian, Allah menilainya baik. Ternyata, apa yang diciptakan dapat dipahami sebagai semacam seni yang dinikmati oleh Penciptanya. Kemudian, ada pemisahan terang dan gelap, bukan dalam ruang melainkan dalam waktu (5). Dengan demikian, konsep hari dapat menjadi bingkai untuk uraian selanjutnya.

Tentang Apa dan Untuk Apa?

Allah berdaulat atas samudera raya yang tak berbentuk itu oleh Firman dan Roh untuk menjadikan langit dan bumi yang baik. Dengan dibaptis dalam nama Yesus, keberadaan kita yang dikacau-balaukan oleh dosa mulai dibentuk menjadi sesuatu yang baik oleh kuasa Roh.

Makna

Mazmur 29 merupakan salah satu mazmur yang membuat pujian dari kisah penciptaan itu. Mazmur itu mengaitkan suara Tuhan dengan kuasa-Nya atas air dan air bah. Dalam Kej 6-9, air bah membawa dunia kembali ke hari ketiga. Samudera raya yang berpotensi dalam 1:2 menjadi ancaman. Ketika Israel keluar dari Mesir, mereka diselamatkan melalui air yang kemudian menghancurkan musuh mereka. Air yang besar juga menjadi kiasan untuk gejolak politik yang mengancam. Suara Tuhan yang menjadikan terang dan membentuk samudera raya yang tidak berbentuk itu berkuasa dalam kekacauan dunia sekarang.

Baptisan Yesus terjadi dalam sungai yang mengancam untuk mencegah Israel memasuki tanah perjanjian, tetapi karena kuasa Tuhan Israel dapat menyeberang. Baptisan Yohanes menyediakan cara untuk Israel bertobat dan kembali ke panggilan awal itu. Ketika Yesus dibaptis, Roh Kudus kembali mengambil bentuk yang melayang-layang (burung merpati). Kali ini, permukaan yang “diganggu” bukan dari samudera raya melainkan dari langit (Mrk 1:10). Roh Kudus membuka sesuatu yang baru dalam pelayanan Yesus yang akan diteruskan kepada orang-orang yang Dia baptis (1:11).

Hal itu digenapi pada hari Pentakosta. Kis 19:1-7 membandingkan baptisan Yohanes dengan baptisan dalam nama Yesus yang membawa pembaruan oleh Roh itu. Kita sekarang ada pada titik itu dalam Kisah Agung Allah. Jika umat manusia yang dikuasai oleh dosa itu ibarat air bah, Roh Kudus membawa pola hidup yang terarah dan teratur.

Dipublikasi di Kejadian | Tag , | Meninggalkan komentar